PAK SAID DALAM KENANGAN
Oleh : Ake Endang Murni
Pak Said adalah salah satu tokoh Taman Siswa yang dikenal dengan sikap dan kehidupannya yang sederhana namun tidak rendah diri. Pak Said juga menguasai banyak bahasa asing, diantaranya adalah Bahasa Jepang. Ketika Jepang menduduki Jakarta, Pak Said bernegosiasi dengan Kepala Angkatan Laut Jepang, sehingga Taman Siswa berhasil menggunakan tempat yang strategis, yaitu tempat yang sekarang kita kenal sebagai Jl.Garuda 25. Pak Said juga dekat dengan para seniman, bahkan pelukis Affandi juga pernah tinggal di Jl.Garuda 25.
Pak Said nyaris tidak pernah bercerita tentang dirinya, sehingga tulisan ini dibuat hanya berdasarkan cerita para kerabat dan juga tulisan para sahabat serta berdasarkan pengalaman sehari-hari saya bersama Pak Said.
A.Sekitar kelahiran Pak Said 1)
Hari lahir Pak Said, yang kita ketahui selama ini, adalah 21 Januari 1917. Namun ada info dari beberapa kerabat, bahwa sebetulnya hari lahir Pak Said adalah tanggal 27 Januari. Dalam catatan kelahiran Pak Said yang saat itu ditulis dengan tangan, angka 27 tampak seperti angka 21. Maka saya mencoba mencocokkan dengan hari pasarannya ( Sabtu Pahing ). Ternyata, Sabtu Pahing cocok dengan 27 Januari 1917, bukan 21 Januari. Maka menurut perkiraan saya, hari lahir Pak Said, sebetulnya adalah 27 Januari 1917.
Pak Said terlahir dengan nama Raden Mas Bambang Sonya Sudarmo, yang artinya adalah anak lelaki (=Bambang) yang sunyi (=Sonya) dari kehadiran ayah tercinta (=Sudarmo). Karena ketika lahir, ayah Pak Said sedang ada tugas keluar kota, sehingga Pak Said lahir tanpa ditunggui oleh ayahnya. Selanjutnya, belum diketahui, kapan pastinya Pak Said membuang gelar Raden Mas dan merubah nama lahirnya menjadi Mohammad Said Reksohadiprodjo. Diperkirakan, ketika masuk Taman Siswa, beliau sudah menggunakan nama Mohammad Said Reksohadiprodjo.
B.Masa sekolah 2)
Pada usia 5 tahun (tahun 1922), Pak Said sekolah di ELS (sekolah dasar Belanda yang lama belajarnya 7 tahun). Kemudian melanjutkan ke HBS selama 5 tahun (gabungan tingkat SMP dan SMA). Selanjutnya, Pak Said mendapat beasiswa untuk melanjutkan di GHS (sekolah kedokteran di Jakarta). Beasiswa tersebut merupakan beasiswa dari guru-gurunya semasa belajar di HBS. Guru-gurunya ini berkebangsaan Belanda. Hal ini sebetulnya membuat Pak Said merasa tidak nyaman.
C.Pengabdian di Taman Siswa Jakarta
Pengabdian Pak Said di Taman Siswa Jakarta, dimulai sejak Pak Said berusia 20 tahun (1937) hingga wafatnya di usia 62 tahun (1979). Berhubung cerita tentang pengabdian Pak Said di Taman Siswa cukup banyak, maka untuk memudahkan membacanya, saya akan membaginya kedalam sub-sub judul.
C1.Menjadi pamong Taman Siswa 3)
Semasa di Fakultas Kedokteran, Pak Said banyak bergaul dengan para pejuang kemedekaan. Semangat nasionalisme Pak Said menjadi semakin berkobar. Tampaknya Pak Said mulai gelisah, karena beasiswa yang diterimanya adalah beasiswa dari para gurunya, yang berkebangsaan Belanda. Sehingga pada 1937, setelah tiga tahun kuliah di fakultas kedokteran , Pak Said memutuskan untuk berhenti kuliah, dan memilih menjadi pamong (guru) di Taman Siswa Jakarta. Saat itu usia Pak Said 20 tahun.
C2. Mendirikan asrama pemuda ( “Soli Deo Honor” ) 4)
Setahun setelah menjadi pamong di Taman Siswa (1938), Pak Said menjadikan rumahnya menjadi sebuah asrama pemuda yang diberi nama “Soli Deo Honor” (SDH) yang artinya adalah segala puji hanyalah untuk Tuhan. Tujuan SDH ialah untuk menampung anak-anak daerah yang ingin bersekolah di Jakarta dan tidak punya tempat tinggal. Penghuni SDH berasal dari berbagai daerah. Ada dari Aceh, Medan, Padang, Banten, Bali, dsb. Bahkan yang dari Bali datang ke Jakarta dengan mengendarai sepeda. Di asrama SDH nilai-nilai ke-TamanSiswa-an seperti kemandirian, kekeluargaan, kemanusiaan, keberagaman dsb, betul-betul diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
C3.Mengelabui Jepang 4)
Masih pada 1938, setelah Pak Said meninggalkan bangku kuliah di GHS (Fakultas Kedokteran Belanda), beliau kemudian belajar Bahasa Jepang di Fakultas Sastra. Seolah Pak Said sudah menyadari kemungkinan akan masuknya Jepang ke Indonesia.
Ketika Jepang betul-betul menjajah Indonesia, semua sekolah ditutup. Sekolah yang boleh beroperasi hanyalah yang setingkat SD (Sekolah Dasar). Maka pada saat itu, untuk menambah bekal pengetahuan para siswa di Taman Muda (SD Taman Siswa), Pak Said segera memberikan pelajaran Bahasa Jepang, yang sudah dikuasainya.
Sementara itu, sekolah untuk tingkat menengah keatas, belum diizinkan untuk didirikan. Pak Said sangat mengkhawatirkan pendidikan anak-anak yang dididik di tingkat sekolah menengah keatas tersebut. Untuk mengatasi hal itu, Pak Said mengelabui Jepang, dengan cara membuka kursus yang diberi nama Koersoes Pengetahoean Umum (KPO). Pelajaran yang diberikan di KPO sebetulnya adalah pelajaran untuk tingkat menengah keatas.
C4.Manfaat menguasai bahasa asing 4)
Pada saat Jepang menjajah, tempat untuk belajar bagi murid-murid Taman Siswa, masih terpencar di beberapa tempat. Salah satunya bertempat di sebelah Markas Besar Angkatan Laut Jepang (Kai Gun). Suatu saat, tempat belajar tersebut harus dikosongkan, karena Kai Gun akan memperluas markasnya. Pak Said segera menemui Pimpinan AL Jepang untuk berunding. Karena Pak Said dapat berbahasa Jepang, maka akhirnya Taman Siswa mendapatkan penggantian tempat yang bahkan lebih luas. Tempat itu adalah bekas Rumah Sakit Palang Dua yang sudah tidak dipakai. Tempat itulah yang sampai sekarang menjadi pusat Taman Siswa Jakarta, yang beralamat di Jalan Garuda 25, Kemayoran, Jakarta Pusat.
C5.Ditahan di penjara Glodok 5)
Pak Said pernah ditangkap oleh tentara sekutu dan ditahan di penjara Glodok. Entah bagaimana, oleh seorang perwira Inggris Pak Said diperbolehkan untuk menghubungkan para tawanan dengan keluarganya masing-masing, melalui pengiriman surat dan bingkisan. Bahkan Taman Siswa Jl.Garuda 25, sempat menjadi “POS” yang menerima dan menyalurkan kiriman kepada para tawanan di penjara Glodok dan juga penjara Cipinang serta Pulau Onrust.
C6.Taman Siswa Jakarta menjadi Benteng Terakhir Republik Indonesia 6)
Pada tahun 1947, tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia. Mereka masih ingin menguasai Indonesia. Jakarta diserang oleh tentara Belanda, sehingga suasana sangat mencekam. Gedung-gedung dan kantor-kantor pemerintah RI, diduduki dan ditutup oleh Belanda. Serdadu Belanda berseliweran lengkap dengan senapannya. Zaman itu disebut dengan zaman pendudukan Belanda.,
Dalam situasi seperti itu, Taman Siswa Jl.Garuda 25, tetap berani mengibarkan Sang Saka Merah Putih sebagai lambang kedaulatan RI. Taman Siswa Jakarta menjadi tempat berkumpulnya para pejuang RI. Bahkan ada kantor pemerintah RI (KANTOR PEMUDA dan HUBUNGAN LUAR NEGERI), yang dikepalai oleh Pak Said, ikut hijrah dari Jalan Cilacap ke Jalan Garuda 25 7) . Karena itulah, maka Taman Siswa Jalan Garuda 25 disebut sebagai Benteng Terakhir Republik Indonesia pada zaman pendudukan Belanda.
C7.Menyebar kulit kuaci 8)
Kuaci adalah camilan yang terbuat dari biji semangka yang dikeringkan. Suatu saat, para murid sedang beristirahat sambal makan kuaci dan kulitnya terserak di sekitar kaki mereka. Pak Said yang sedang berkeliling sekolah, segera mendatangi mereka. Kemudian Pak Said ikut bersama-sama makan kuaci. Pak Said juga ikut menyebar kulit kuaci di lantai. Ketika kuaci habis, maka Pak Said mengumpulkan kulit kuaci tersebut, sambal mengajak para murid agar membantunya, untuk kemudian dibuang di tempat sampah. Penerapan langsung Ing madya mangun karso dan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Padahal setahu saya, sebetulnya Pak Said tidak suka makan kuaci.
C8.Perhatian terhadap kesenian 9)
Pak Said bukan seniman, namun beliau sangat mempedulikan perkembangan kesenian. Di Jl.Garuda 25 sering ada pameran karya para pelukis terkenal. Para seniman sering berkumpul disini.Semua merupakan teman dekat Pak Said. Chairil Anwar sebelum meninggalnya, juga sering muncul disini. Pelukis Affandi bahkan pernah tinggal di Jl.Garuda 25. Murid-murid sering mengadakan diskusi dengan seniman-seniman terkenal dan bahkan mampu mengadakan pentas di Gedung Kesenian, Pasar Baru.
D.Pengalaman penulis bersama Pak Said
Sepanjang ingatan saya, Pak Said nyaris tidak pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Hal ini membuat saya agak kesulitan menceritakan tentang apa yang sudah Pak Said kerjakan di lingkungan Taman Siswa maupun di lingkungan masyarakat luas. Oleh karena itu, maka pada bagian ini, saya akan menceritakan kejadian sehari-hari yang merupakan pengalaman pribadi saya sebagai putri Pak Said.
D1.Open House
Rumah kami selalu terbuka kepada siapa saja. Tamu Pak Said amat sangat beragam dan semuanya diterima dengan ramah, tidak membeda-bedakan. Ada ulama, politikus, kaum pergerakan, wartawan, mahasiswa, ilmuwan, seniman, pejabat, pedagang, orang terlantar, bahkan orang yang terganggu ingatannyapun, menjadi tamu Pak Said.
Beberapa murid yang ketika pulang sekolah merasa lapar, kadangkala mampir ke rumah untuk ikut makan di rumah kami. Menu di rumah kami pada umumnya sederhana. Sayur lodeh dengan kuah berlimpah serta tempe goreng, adalah menu yang sering muncul, namun kami sangat menikmatinya.
D2.Menghormati semua agama dan keyakinan
Selain Al Qur’an dengan bermacam tafsir, Pak Said juga mempunyai Injil serta buku-buku tentang Budha, Krishnamurti, Ki Ageng Suryomentaram dan banyak buku filsafat dari pemikir-pemikir kelas dunia.
Pak Said juga peduli dengan banyak teman yang berbeda agama. Ruang-ruang kelas pada saat hari libur, dipinjamkan kepada teman-teman non muslim yang membutuhkan ruangan untuk beribadah. Sehingga Ketika Pak Said meninggal dunia, teman-teman dari kalangan non muslim sempat mengadakan kebaktian di rumah kami, untuk mendoakan Pak Said dan untuk menghibur kami.
D3.Hidup sederhana
Menurut Pak Said, hidup sederhana itu tidak cukup hanya dengan hidup sesuai kemampuan, namun juga harus mempedulikan perasaan orang sekitar.
Ketika Pak Said sedang bertugas menjadi Deputy Mentri, beliau diminta untuk pindah ke rumah dinas di kawasan Menteng. Pak Said tetap memilih tinggal di bangunan sederhana di Taman Siswa Jl. Garuda 25. Beliau merasa tidak perlu untuk pindah dan merasa tidak pantas, karena perumahan para guru di Taman Siswa juga masih sangat sederhana.
Sebagai Deputy mentri, Pak Said juga mendapat fasilitas 3 mobil untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Ketika selesai bertugas, ketiga mobil itu seharusnya dapat menjadi milik Pak Said. Namun oleh Pak Said, ketiganya dikembalikan ke kantor . Alasannya adalah, selain merasa belum perlu, kondisi keuangan Pak Said juga tidak cukup untuk merawat satu mobil, apalagi tiga mobil. Selain itu, tanpa mobilpun, Pak Said sudah terbiasa naik transportasi umum.
D4.Televisi dan kulkas adalah barang langka
Sekitar tahun 1967, Taman Siswa kadangkala diminta untuk mengisi acara di TVRI. Suatu saat saya dan beberapa teman, ikut terpilih untuk menyanyikan beberapa lagu anak di TVRI. Karena belum punya televisi, maka Pak Said dan Bu Said pergi bertamu ke rumah teman Pak Said untuk numpang menonton anaknya menyanyi di TVRI.
Sekitar dua tahun kemudian, ada teman kakak Pak Said yang katanya punya televisi lebih dari satu. Mengetahui Pak Said tidak punya televisi, maka salah satu televisinya diberikan kepada Pak Said. Sejak saat itu, teras rumah Pak Said setiap sore hari selalu dipenuhi oleh anak-anak tetangga di sekitar Taman Siswa yang ikut menonton televisi.
Sekitar tahun 1970, Pak Said mendapat penghargaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Bersamaan dengan penghargaan tersebut, diberikan juga sejumlah uang yang cukup untuk membeli kulkas. Kami sekeluarga rasanya senang sekali. Bu Saidpun segera memanfaatkan kulkas untuk membuat es mambo yang murah namun tetap bergizi yang dititipkan di warung sekolah. Tak lama kemudian, di warung sekolah, ada juga yang ikut menjual es mambo. Karena Bu Said niatnya hanya memberi contoh, maka ketika sudah ada yang menirunya, maka Bu Said tidak membuat es mambo lagi.
D5.Ditekan importir film
Saat itu, Pak Said menjadi anggota Badan Sensor Film. Suatu ketika ada seorang importir film (atau produser film ?), memaksa agar filmya diloloskan. Orang itu setengah mengancam dan mengaku sebagai suruhannya Ibu Tien Suharto. Ketika Pak Said menemui orang tersebut, Pak Said mengatakan bahwa Pak Said akan segera menelpon Ibu Tien Suharto. Orang tersebut langsung ketakutan dan akhirnya meminta maaf serta dapat menerima bahwa filmnya memang tidak layak untuk lolos.
D6.Disuap mahasiswa
Suatu hari Pak Said kedatangan tamu, seorang pemuda yang membawa oleh-oleh. Seperti biasa, tamu tersebut diterima dengan ramah. Namun pada saat pemuda tersebut pamit, dia kembali menyebutkan namanya dan juga nomor mahasiswanya, serta memohon agar dia diluluskan ujiannya. Tentu saja Pak Said marah dan oleh-oleh dari pemuda itu segera dikembalikan. Sambil berpesan bahwa perbuatan tersebut tidak selayaknya dilakukan. Saat itu Pak Said memang menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta.
D7.Donor jenazah dan donor mata
Bu Said pernah bercerita, bahwa Pak Said pernah mengatakan agar kalau meninggal dunia, jenazahnya disumbangkan saja kepada FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), agar dapat dimanfaatkan untuk bahan belajar para mahasiswa. Pak Said ingin agar setelah meninggal duniapun, masih tetap dapat berguna. Bu Said setuju, dengan syarat bahwa FKUI betul-betul sudah sangat kekurangan jenazah.
Juni 1979, Pak Said dirawat di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Sehari sebelum wafat, Pak Said sempat berpesan kepada saya, agar mempersiapkan kartu anggota donor mata, untuk berjaga-jaga. Maka ketika Pak Said wafat, kartu donorpun sudah tersedia dan Bu Said sempat menunggu cukup lama di RS, menunggu dokter yang akan mengoperasi mata Pak Said, untuk didonorkan kepada yang membutuhkan. Setelah menunggu cukup lama dan dokter mata yang ditunggu belum dapat hadir, maka akhirnya diputuskan untuk membawa pulang jenazah Pak Said.
Ketika jenazah Pak Said tiba di rumah, kerabat dan handai taulan sudah banyak yang datang melayat. Sehingga ketika dokter dari RS datang ke rumah untuk mengoperasi mata Pak Said, situasi sudah tidak memungkinkan. Pada akhir hayatnya, ada dua keinginan Pak Said yang tidak terwujud, yaitu mendonorkan jenazahnya dan mendonorkan matanya. Semoga Pak Said tentram dan damai serta semoga Allah menerima Pak Said dengan kasih sayang dan ampunanNYA. Aamiin YRA.
D8.Kesetiaan terhadap Taman Siswa
Ada kesetiaan Pak Said terhadap Taman Siswa yang berimbas kepada saya. Ketika saya lulus dari Taman Dewasa (SMP Taman Siswa), saya ingin masuk ke salah satu SMA Negri favorit. Nilai untuk masuk ke SMA tersebut sangat mencukupi. Namun, demi kesetiaan kepada Taman Siswa, Pak Said memberi penjelasan dan pemahaman kepada saya, sehingga akhirnya saya bersedia untuk tetap melanjutkan sekolah di Taman Madya (SMA Taman Siswa).
D9.Mengajarkan kemandirian
Ketika saya belajar di Taman Madya, yang saat itu berada di Jl.Garuda 25, ada pelajaran renang yang kolam renangnya terletak di Cikini. Ketika itu saya mengharap agar dapat diantar oleh kerabat dekat yang punya mobil. Tapi Pak Said menyampaikan kepada saya agar berangkat saja dengan teman-teman, naik angkot.
D10.Kalimat bijak
Ada banyak kalimat bijak yang sering disampaikan oleh Pak Said. Salah satu yang rasanya perlu disampaikan disini adalah kalimat : “SIAPA YANG MASIH MERASA BERKORBAN, BELUM CUKUP MENCINTAI”. Menurut Pak Said, orang yang cukup mencintai, tak akan merasa berkorban. Yang ada adalah pengabdian yang ikhlas, layaknya seorang ibu mencintai anaknya..
E.Bu Said
Tak lengkap rasanya, bila menceritakan tentang Pak Said tanpa menceritakan juga tentang Bu Said. Dalam menceritakan tentang Bu Said, saya juga akan menguraikannya dalam beberapa bagian.
E1.Komitmen sebagai istri orang Taman Siswa
Sebelum menikah dengan Pak Said, Bu Said adalah seorang guru di sekolah negri. Saat itu , penghasilan seorang guru di sekolah negri adalah lebih dari cukup. Sementara penghasilan Pak Said sebagai seorang pamong (guru) Taman Siswa, adalah lebih kecil daripada penghasilan Bu Said saat itu. Maka, ketika memutuskan untuk menikah dengan Pak Said, Bu Said berkomitmen untuk dapat hidup dengan sederhana, sesuai kemampuan yang ada.
E2.Penerapan Hidup Sederhana
Tahun 1968, saya duduk di kelas empat Taman Muda (Sekolah Dasar Taman Siswa). Saat itu sedang musim tas koper, tas sekolah yang berbentuk seperti koper kecil. Harganya cukup mahal, tapi saya meminta kepada Bu Said untuk membelikan tas koper tersebut. Bu Said menanyakan, siapa saja di kelas, yang pakai tas seperti itu. Ada 3 atau 4 orang, jawab saya. Lalu Bu Said mengatakan… “kasihan ya, teman-teman lain yang tidak mampu membeli tas seperti itu..”. Langsung saya merasa tidak patut memiliki keinginan untuk membeli tas koper tersebut. Dengan cara dan bahasa yang sederhana, Bu Said telah mengajarkan pola hidup sedrhana. Hidup sederhana bukan hanya hidup sesuai dengan kemampuan kita, namun juga perlu mempertimbangkan perasaan orang lain yang ada di sekitar kita.
Dalam urusan keuangan rumah tangga, Bu Said mengelolanya dengan cukup ketat. Kita jangan sampai berhutang, itu salah satu prinsipnya. Penghasilan Pak Said dibagi tiga, namun tidak sama besar. Bagian pertama untuk tabungan masa depan anak, bagian kedua untuk bantuan sosial, bagian ketiga untuk biaya sehar-hari. Untuk biaya sehari-hari, pertama dibelikan beras dan minyak tanah untuk sebulan. Sisanya dibagi 30, atau sesuai jumlah hari dalam bulan berjalan. Pengeluaran harian tidak boleh melebihi jumlah uang yang sudah dibagi 30 tersebut. Sedangkan biaya untuk listrik, air dan rumah, kami tidak perlu menganggarkan, karena sudah ditanggung Taman Siswa. Demikian juga uang sekolah, karena saya sekolah di Taman Siswa, maka kami tidak perlu mebayar uang sekolah.
Daftar Singkatan :
- NICA (Nederlans Indies Civil Administration/Tentara Belanda)
- ELS (Europeesche Lagere School/SD Belanda) lama belajar 7 tahun
- HBS (Hogere Burger School/setingkat SMP-SMA) lama belajar 5 tahun
- GHS (Geneskunde Hoge School/Fakultas Kedokteran Belanda)
- Cerita dari para kerabat
- Abdul Kadir, MOHAMMAD SAID REKSOHADIPRODJO di mata sahabatnya, halaman 19, Yayasan Idayu, Jakarta 1979
- S.Hudyonoto, MOHAMMAD SAID REKSOHADIPRODJO di mata sahabatnya, halaman 138, Yayasan Idayu, Jakarta 1979
- Nyi Sri Fatimah Saliman, 60 TAHUN TAMANSISWA JAKARTA, PT.INTERMASA Jakarta 1989.
- Ki H.S. Hadi Asmoro, 60 TAHUN TAMANSISWA JAKARTA, PT.INTERMASA Jakarta 1989.
- Ki Syamsudin, 60 TAHUN TAMANSISWA JAKARTA, PT.INTERMASA Jakarta 1989.
- Cerita dari Ki Daniswan, bekas murid Taman Dewasa Raya, Taman Siswa Jakarta.
- H. Misbach Y. Biran, MOHAMMAD SAID REKSOHADIPRODJO di mata sahabatnya, Yayasan Idayu, Jakarta 1979
Riwayat Hidup :
- Nama : Mohammad Said Reksohadiprodjo.
- Lahir : Sabtu Pahing, 27 Januari 1917 di Purworedjo Jawa Tengah.
- Istri : Soegiarti
- Anak : Ake Endang Murni
- Pendidikan :
- ELS (Europeesche Lagere School/Sekolah Dasar Belanda) 1922-1929
- HBS (Hogere Burger School/Sekolah Menengah Belanda) 1929-1934
- GHS (Geneeskundige Hoge School/Fak Kedoketeran Belanda) 1934-193
- Pengabdian di Taman Siswa :
- 1937-1942 Pamong Taman Siswa Jakarta
- 1942-1945 Wakil Ketua Cabang Taman Siswa Jakarta
- 1945-1979 Ketua Cabang Taman Siswa Jakarta
- 1952-1966 Anggota Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
- 1966-1971 Wakil Ketua Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
- 1972-1979 Ketua Badan Pinisepuh Persatuan Taman Siswa
7. Pengabdian di luar Taman Siswa :
- Ketua Kantor Pemuda dan Hubungan Luar Negri RI
- Anggota Badan Sensor Film
- Anggota Dewan Film Nasional
- Anggota Dewan Pers
- Anggota BPPPP
- Anggota Panitia Nasional UNESCO
- Anggota BMKN
- Anggota Badan Penyantun UNAS
- Anggota Badan Penyantun AKABRI
- Wakil Ketua Akademi Jakarta
- Ketua Bidang Pendidikan Dewan Harian Nasional Angkatan 45
- Deputy Mentri Pendidikan Dasar RI
- Dewan Penyantun Siaran Nasional
- Konsultan PUSBINTAL ABRI
- Dosen Bahasa Belanda di UI dan UNTAR
- Dosen Bahasa Inggris di AKPOL
- Ketua Badan Pengawas Yayasan Idayu
- Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1978-wafat)
8. Tanda Jasa
- Palang Merah Indonesia – Lencana Emas
- Universitas Trisakti – Piagam Penghargaan
- Departemen Pendidikan & Kebudayaan RI – Piagam Anugerah
- NKRI – Bintang Mahaputera Utama